Konsultan untuk
Penelitian tentang Biaya Katastropik dan Kemiskinan bagi Orang Terdampak TBC RO
Latar Belakang | TBC adalah penyakit menular yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis. Secara umum, penyakit ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu TBC Sensitif Obat (TBC SO) dan TBC Resisten Obat (TBC RO). TBC SO adalah kondisi di mana kuman Mycobacterium tuberculosis masih sensitif terhadap Obat Anti TB (OAT) dengan masa pengobatan selama kurang lebih 6-9 bulan, sedangkan TBC RO adalah kondisi di mana kuman Mycobacterium tuberculosis telah mengalami kekebalan terhadap Obat Anti TB (OAT). Masa pengobatan bagi orang dengan TBC RO dapat berkisar antara 9-24 bulan. Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi ke-2 di dunia setelah India. Pada tahun 2019, Indonesia mencatat 562.049 kasus TBC. Jika ditambah jumlah kasus yang tidak terdiagnosis dan tidak ternotifikasi, jumlah ini diperkirakan melonjak hingga mencapai 845.000 kasus[1]. Berdasarkan Global TB Report 2020, diperkirakan terdapat 24.000 kasus TBC Resisten Obat (TBC RO) di Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah ini, berdasarkan data rutin Program Nasional Penanggulangan TBC, pada tahun 2019 baru ditemukan 11.463 kasus TBC RO, atau terdapat kesenjangan 52,5% dari perkiraan kasus yang ada. Dari 11.463 kasus tersebut, hanya 5.531 atau 48,3% pasien yang sudah memulai pengobatan, dengan angka keberhasilan pengobatan berkisar di antara 49-51% dan angka putus pengobatan 24-26% per tahun. Pada tahun 2020, penemuan kasus TBC RO mengalami penurunan yang signifikan menjadi 7.921 atau hanya 33% dari jumlah kasus yang diestimasikan (24.000), dengan jumlah pasien yang memulai pengobatan mencapai 4.590 orang (58%)[2]. Besarnya kesenjangan penemuan kasus dan sedikitnya orang dengan TBC RO yang memulai pengobatan menunjukkan bahwa masih banyak pasien yang belum dapat mengakses layanan dan diagnosis pengobatan. Di sisi lain, besarnya angka putus pengobatan, sebagaimana tergambar pada data tahun 2019 yang berada pada kisaran 24-26%, turut mempengaruhi angka keberhasilan pengobatan dan meningkatnya resiko penularan TBC RO di masyarakat. Akses terhadap layanan dan diagnosis pengobatan TBC sendiri dapat dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya adalah pengetahuan tentang gejala TBC, hambatan ekonomi, dan faktor-faktor yang menjadi determinan lain seperti sosial dan politik. Hambatan ekonomi telah menjadi tantangan tersendiri bagi upaya pengobatan TBC. Penelitian yang dilakukan E.D. Sihaloho et al[3] pada data 431 Kabupaten Kota di 29 Provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara kemiskinan terhadap angka TBC di Indonesia, yaitu penambahan 1% orang miskin akan meningkatkan total penderita Tuberkulosis sebanyak 0.6744342% orang. Korelasi antara kemiskinan dan angka TBC di Indonesia ini tidak terlepas dari tidak tercukupinya asupan gizi, kesehatan tata kelola pemukiman, dan akses pelayanan kesehatan pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah[4]. Dalam konteks pengobatan TBC RO, hambatan ekonomi dapat muncul sebagai akibat dari hadirnya biaya katastropik, yaitu jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan penderita TBC untuk mengobati TBC sampai tuntas, yang melebihi batas maksimal pengeluaran per pendapatan keluarga per tahun selama menjalani masa perawatan. Batas maksimal pengeluaran misalnya 20% dari total pendapatan keluarga[5]. Berdasarkan studi yang dilakukan Fuady pada 282 orang dengan TBC SO dan 64 orang dengan TBC RO di tiga wilayah geografis berbeda, urban (Jakarta), sub-urban (Depok), dan rural (Tasikmalaya), proporsi rumah tangga yang mengalami biaya katastropik akibat TBC SO (Sensitif Obat) adalah 36% (43% pada rumah tangga miskin dan 25% pada rumah tangga yang tidak miskin, sedangkan proporsi rumah tangga yang mengalami biaya katastropik akibat TBC RO adalah 83%. Biaya katastropik pada rumah tangga miskin disebabkan penderita TBC merupakan pencari nafkah utama di keluarga yang kehilangan pekerjaannya[6]. Adanya biaya katastropik pada rumah tangga terdampak TBC RO tidak hanya menjadi tantangan bagi rumah tangga miskin, tetapi juga bagi rumah tangga tidak miskin yang menjadi rentan miskin karena terhambatnya arus perekonomian rumah tangga. Mengingat hambatan ekonomi menjadi determinan penting dalam upaya pengobatan TBC RO, sebagaimana dijelaskan di atas, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) berinisiatif untuk menyelenggarakan penelitian kualitatif untuk menajamkan informasi terkait biaya katastropik pada rumah tangga terdampak TBC RO di Indonesia. Hasil penelitian ini akan dijadikan dasar untuk melakukan advokasi jaring pengaman sosial bagi orang dengan TBC RO.
|
Tujuan |
|
Keluaran (Deliverables) |
|
Ruang Lingkup Pekerjaan |
Ruang lingkup kerja konsultan:
|
Tugas dan Tanggungjawab | Konsultan bertanggung jawab untuk mengelola keseluruhan proses penelitian tentang biaya katastropik dan kemiskinan bagi orang terdampak TBC RO:
|
Lokasi kegiatan | Virtual
|
Waktu Pelaksanaan | September – Desember 2021
|
Pagu Anggaran | Rp 75.500.000,- (tujuh puluh lima juta lima ratus ribu rupiah) |
Tim Supervisi | Konsultan akan bertanggung jawab kepada Senior Program Manager |
Kualifikasi Pelamar | Konsultan harus mempunyai kualifikasi sebagai berikut:
|
Timeline rekrutmen |
|
Pengiriman lamaran | Silahkan untuk mengirimkan lamaran beserta dokumen yang dibutuhkan melalui email dengan subject '(Nama Lengkap/Organisasi)_Konsultan Riset Biaya Katastropik Orang dengan TB RO' diterima paling lambat 27 Agustus 2021 pukul 23.59 WIB Ditujukan kepada: admin@stoptbindonesia.org |
Dokumen yang dikumpulkan | Setiap pelamar wajib mengirimkan proposal dan dokumen pendukung, sebagai berikut:
Proposal terdiri dari : 1. Kerangka Kerja Penelitian dan Metodologi Penelitian 2. Rencana Anggaran Biaya 3. Timeline Kegiatan Penelitian 4. Tim Kerja Penelitian
Dokumen pendukung, terdiri dari: - Individu: - Organisasi: o Expression of Interest (English/Indonesia) |
[1] WHO. 2020. Global Tuberculosis Report 2020.
[2] Kementerian Kesehatan, data per 10 Mei 2021.
[3] E.D. Sihaloho, D.S. Amru, N.I. Agustina, H.S.P. Tambak. 2021. Pengaruh Angka Kemiskinan Terhadap Angka Tuberkulosis di Indonesia. Journal of Applied Business and Economics (JABE) Vol. 7 No. 3 (Maret 2021) 325-337
[4] Mahpudin, A. H., dan Renti Mahkota. 2007. Faktor Lingkungan Fisik dan Rumah, Respon Biologis dan Kejadian TBC Paru di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 46.
[5] WHO. 2017. Tuberculosis Patient Cost Surveys: a handbook. World Health Organization.
[6] Fuady, A., Houweling, T. A. J., Mansyur, dan Richardus, J. H. 2018. Catasthropic total costs in tuberculosis-affected households and their determinants since Indonesia's implementation of universal health coverage. Infectious Diseases of Poverty, 8(1).
Jl. Ampera Raya No. 18-20
0 Comments:
Posting Komentar